Kamis, 11 April 2013

Kota Kenangan


             Aku hanya duduk sembari menikmati pemandangan kota Makassar yang diguyur hujan malam ini. Sesekali aku tersenyum melihat beberapa anak jalanan yang bermain dibawah hujan dengan riang gembira, dan terlihat sama sekali tidak memperdulikan bahwa sekarang jam telah menunjukkan pukul 8.22 malam. Menunggu mobil ini membawaku ke sebuah rumah sederhana milik adik dari ibuku.
Sebenarnya aku sedikit terpaksa berada di kota yang terkenal dengan pantai losarinya ini. Hanya untuk memenuhi undangan pernikahan sepupuku. Orangtua ku tidak bisa datang lantaran pekerjaan mereka. Jadilah aku yang sedang ‘menganggur’ setelah wisuda S1 di rumah yang menggantikan mereka.
Berada di kota yang terkenal dengan Pantai Losarinya ini membuatku menghela nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan berat. Kota ini menyimpan beribu kenangan yang terkadang membuatku tertawa kecil ketika mengingatnya. Kenangan yang terkadang membuatku menitikkan air mata saat mengingatnya. Yah, kenangan masa lalu yang sedikit pahit.
            Sesampainya di rumah sepupuku, aku langsung merebahkan diri diatas kasur. Perjalanan panjang dari Jogjakarta membuat tulang-tulangku terasa copot semua. Lagipula sudah malam, tentu rasa kantuk lebih cepat mengusikku. Aku pun memutuskan untuk tidur, setelah memberi kabar kepada kedua orangtuaku bahwa aku telah tiba di rumah Tante Tia.
Udara pagi ini begitu dingin sampai terasa menusuk di tulang-tulangku. Aku bangkit, dan membuka jendela. Kuhirup udara kota Makassar yang sejuk ini dalam-dalam sembari menikmati taman sederhana milik Tante Tia. Rintik hujan pun mulai menari-nari dan membahasi bumi. “Pantas saja udaranya dingin begini.” Gumamku.
“Naya, kamu mau ikut sama om Syamsul gak?” Tanya tante Tia ketika aku membantunya membuat teh di dapur. “Kemana tante?” Aku balik bertanya. “Ambil pesanan kue, sekalian lah kamu jalan-jalan. Udah lama kan kamu gak ke Makassar.”  Jawab tante Tia. Ada benarnya sih, sudah 6 tahun aku tidak menginjakkan kaki di kota ini. “Tapi kan sekarang lagi hujan, tante.” Kataku sambil menunjuk kearah luar yang sedang hujan. “Gak apa-apa, kan naik mobil sama om Syamsul. Dia lagi manasin mobil mungkin.” Kata tante Tia. Sepertinya tidak ada alasan lagi untuk menolak tawaran tante Tia. “Yasudah, aku mau ikut.”
            Setelah memakai jilbab dan mengenakan pakaian yang tertutup, aku melangkahkan kakiku menuju garasi. Benar saja, lelaki berusia sekitar 41 tahun itu sedang menyalakan mobilnya. “Mau kemana?” Tanya om Syamsul begitu melihatku. “Anu, aku mau ikut ambil pesanan kue. Tante Tia nyuruh aku buat ikut sama om.”  Jawabku. “Ngomong-ngomong, ngambil pesanan kuenya dimana?” Aku balik bertanya pada suami dari adik ibuku itu.
“Gak terlalu jauh kok. Ayo kamu masuk mobil duluan, om mau masuk dulu sebentar.”

****

“Kamu beneran mau pindah?” tanya lelaki itu padaku.
“Iya.. Papa aku dipindahtugasin ke Jogja, dan kita sekeluarga mau pindah kesana.” Jawabku. Aku hanya bisa memandangi lantai putih, tempatku dan lelaki bernama Luthfi itu berpijak.
“Kamu gabisa bujuk papa kamu?”
“Kamu tau sendiri kan kalau papa aku orangnya gimana..” Jawabku. Aku tak berani menatapnya.
“Trus, kamu pindahnya kapan?” Tanya lelaki itu lagi. “lusa.” Jawabku singkat. “Lusa? Bentar, bukannya hari itu..” Luthfi terdiam sesaat.
“Perayaan 1st anniversary kita..”

Tepukan di pundakku menyadarkanku dari ‘reka ulang masa lalu’ yang barusaja terputar di otakku.
“Hayo kamu ngelamunin siapa?” Kurasa wajahku memerah begitu mendengar pertanyaan om Syamsul itu. “Anu om, lagi mikirin buat lanjutin S2 atau enggak aja kok.” Karangku yang diakhiri dengan tawa yang setengah terpaksa. Om Syamsul hanya mengangguk dan melanjutkan menyetir. Aku kembali memperhatikan dan berusaha mengenali beberapa bangunan sepanjang jalan. Dan kembali, memori itu terputar di benakku.

6 tahun yang lalu..
Kupandangi beberapa koper yang dalam hitungan jam akan tiba di rumah baru kami disana, Jogjakarta. Ingin rasanya aku merobek tiket pesawat yang akan lepas landas beberapa menit lagi ini, yang tengah kugenggam erat. Aku kesal. Haruskah aku memulai kehidupan baru disana? Mencari teman dan sahabat baru di sekolah dan lingkungan rumah, bersosialisasi, mengejar nilai-nilai di sekolah baru. Dan, berhubungan jarak jauh dengan Luthfi. Makin kesal lagi, karena semenjak percakapanku kemarin lusa dengannya ia masih saja tidak menghubungiku. Padahal, aku sudah berulang kali mengirimkan sms padanya dan juga berulang kali menelfon ponselnya. Tapi tidak ada jawaban. Aku benci itu.
            Sebuah senyuman tersungging di bibirku ketika membaca nama Luthfi :* terpampang jelas di layar ponselku. Ia mengirimkanku pesan singkat. Belum selesai aku membacanya, senyumanku pupus dan berganti dengan airmata yang telah menggenang di pelupuk mataku terjatuh. Luthfi memutuskanku.
From: Luthfi :*
Received: 2006/10/15 – 07:02:54 AM
            Nay, kamu tau kan aku sayang banget sama kamu? Tapi kalau kamu jauh dari aku, aku gak jamin kalau misalnya rasa sayang aku ke kamu tetap sama dibandingkan kalau kamu ada di dekat aku. Ngerti gak? Aku takut, rasa sayang aku terbagi ke orang lain. Kita kan gak bisa saling mengawasi dalam jarak dekat lagi. Aku tahu, kita hanya perlu saling percaya buat menjaga hubungan ini. Tapi, aku gak bisa percaya sama diri aku sendiri.
            Nay, belum jelas kamu akan benar-benar balik ke sini atau enggak. Dan selama itu pula, pasti banyak hal yang bisa terjadi. Antara aku disini, dan antara kamu disana. Naya, kalau Allah emang jodohin kita, nama aku Luthfi Hasan dan Inayah Azmin Athifah pasti akan tertulis di undangan pernikahan kita nanti. Maaf, tapi setidaknya ini yang terbaik buat aku dan kamu. Terimakasih untuk menjadi orang spesial bagiku selama setahun ini. Aku mencintaimu.

            Pesan yang sangat panjang, tetapi intinya hanya satu; aku dan Luthfi sudah tidak berpacaran lagi. Hadiah yang sangat pahit di hari jadi kami yang ke 365 hari.
Sejujurnya, aku berharap salah satu dari orang-orang yang tengah berlalu-lalang di sekitar ruang tunggu bandara ini adalah Luthfi. Datang, memohon padaku untuk tetap tinggal disini. Tapi, panggilan khas pramugari pesawat untuk segera naik ke atas pesawat pun menyadarkanku bahwa Luthfi memang tidak akan ada untukku lagi. Kuseka air mataku dengan jilbabku, dan melangkah mengikuti keluargaku menuju pesawat yang akan membawa kami meninggalkan kota Makassar. Membawaku meninggalkan Luthfi.

****                                                                                                                                                     
“Alya, calon pasanganmu kayak gimana sih? Aku penasaran sama mukanya, hehe.” Tanyaku pada Alya, sepupuku yang akan resmi menjadi istri seseorang 4 jam lagi. “Namanya Hasan, beda setahun sama aku. Dia 25. Lulus kuliah tahun lalu, trus sekarang kerja di pengadilan agama.” Jelasnya. Bisa kulihat pipinya merona. “Ciri-cirinya gimana?”
“Yaa, kayak orang sini lah. Tinggi, pake kacamata, idungnya mancung, hm trus apa lagi ya?” Dia balik bertanya padaku. “Loh? Itu kan calon suami kamu, masa kamu nanya ke aku sih?” Aku menggelitiknya pinggangnya iseng. “Coba deh, kamu tebak dia kayak gimana.”
“Hmm, dia nggak kidal, ukuran sepatunya 42, punya banyak jam tangan, dan orangnya sedikit melakonlis?” Tebakku asal. Ekspresi kaget pun diperlihatkan Alya padaku. “Bentar-bentar, trus dia suka banget main zuma, alergi udang, dan suka banget minum teh?” Tebakku lagi. Alya membelalakkan matanya. “Kok kamu tau? Wah jangan-jangan kamu paranormal lagi. Hahaha!”
“Aku keingat mantanku, waktu aku tinggal disini…”

******

“Saya terima nikahnya dan kawinnya, Alya Fairuz Binti Zulkifli dengan maskawinnya tersebut, tunai karena Allah Ta’ala.” Lelaki itu mengucapkan qabul dan langsung disahkan oleh saksi. Kata “Alhamdulillah” pun langsung terdengar dari seluruh penjuru ruangan. Aku tidak bisa melepaskan tatapanku dari lelaki tersebut, yang barusaja sah menjadi suami dari sepupuku. Ia mencium kening Alya dengan malu-malu.
Selang beberapa jam kemudian, resepsi pun diadakan. Aku bermaksud menyalami mereka, tetapi aku dan mempelai pria tersebut bertatapan cukup lama begitu mata kami saling bertemu. Ya, dia adalah lelaki yang sangat kukenali. Kota ini betul-betul sangat menyiksaku, sejuta kenangan yang tersimpan rapih dalam memori otak pun satu-persatu terputar dalam benakku.
Lelaki itu bernama Luthfi Hasan.
Happy wedding ya kamunya. Cepat-cepat kasih aku ponakan yang lucu ya. Semoga ini menjadi pernikahan yang pertama dan terakhir buat kalian.” Aku bercipika-cipiki dengan Alya. Ia tertawa kecil mendengarkan do’aku. Aku sempat terdiam beberapa saat, lalu mengulurkan tanganku untuk menyalami suaminya dan memaksa tersenyum.
Happy wedding, Luthfi. Semoga tidak ada kata putus antara kamu dan Alya, ya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar