Kamis, 12 September 2013

At Coffee Shop



            A cup of Iced Americano dan alunan musik jazz menemaniku ditengah gerimis ini di sebuah coffee shop, tempat kami biasa bertemu. Ah, mungkin lebih tepatnya bukan bertemu. Tempat ini hanya sebagai ‘perantara’ antara aku dan degupan jantungku yang lebih cepat dari biasanya ‘bertemu’ dengan seorang gadis berkacamata yang sangat cantik. Setiap pukul 3 sore, sepulang kerja aku selalu standby disini, di meja nomor 19 yang berposisi tepat di samping jendela, memperhatikan gadis berambut panjang itu menyeberang jalan raya lalu masuk ke kedai kopi ini dan memesan Vanila Latte, lalu sibuk dengan laptopnya. Entah apa yang Ia kerjakan itu, tapi mimik wajahnya selalu serius mengamati laptopnya itu. Dan aku tidak pernah bosan dengan mimik wajah yang tampak lucu di mataku itu.
Namanya Intan. Namanya secantik orangnya. Aku mulai menjadi secret admirernya sejak 3 minggu yang lalu, disaat aku tidak sengaja menumpahkan kopi karena tersandung dan Ia memberikanku tisu miliknya dengan senyuman terindah yang pernah kulihat sejauh ini. Kata terimakasih pun menjadi sangat sulit kuucapkan karena terpana kecantikannya. Sungguh, mungkin aku bisa di cap sebagai makhluk idiot karena telah jatuh cinta pada pandangan pertama dan menjadi secret admirernya ditambah lagi harus merelakan hampir 2 jam waktuku  hanya untuk memandanginya dari kejauhan.
            Sudah hampir 20 menit aku menunggunya, namun Ia tak kunjung datang. Padahal, hari ini aku sudah mengumpulkan segenap keberanian untuk menyapanya.
“10 menit lagi, Ahsan. Tunggu sebentar lagi.” Batinku.
            Aku bahkan menungguinya lagi selama 20 menit. Jadi total aku menunggui Intan adalah 1 jam. “Bodoh.” Hati kecilku berkata demikian.
Kuputuskan untuk menyudahi penantian selama 1 jamku ini, dan bersiap meninggalkan coffee shop ini. Dadaku terasa sesak mengingat betapa bodohnya aku sebagai laki-laki hanya bisa mengaguminya dari jauh, tidak berani menyapanya. Aku tidak hanya kagum padanya, aku mencintainya. Dalam diam.


             Oh, alangkah terkejutnya aku begitu keluar dari coffee shop ini, aku bertubrukan dengan seseorang dan membuatku menumpahkan Iced Americano yang memang kupesan untuk kuminum di perjalanan.
“Ah, maaf!” Suaranya lembut, sepertinya aku bertubrukan dengan seorang perempuan. Dan, benar dia perempuan. Oh, hei! Dia Intan! I really really can’t explain what I feel now. Aku merasa membeku seketika.
Andai kau melihat ekspresi wajah Intan yang saat ini panik, kau pasti akan mencubitnya dengan gemas. “Itu, anu. Aku, aku tidak membawa tisu. Bagaimana ini?” Kata Intan sambil menunjuk ke arah dadaku, lalu kemudian merogoh saku celananya.
Dadaku?
Aku lalu mengalihkan pandanganku ke dadaku, dimana Intan menunjuknya dengan ekspresi paniknya. Iced Americano milikku tertumpah diatasnya. Pantas, aku merasa seolah membeku. “Ini. Aku benar-benar minta maaf.” Kata Intan sambil membersihkan pakaianku menggunakan sapu tangan yang dibordir dengan nama lengkapnya. Intan Maharani Putri. “Bagaimana kalau kita masuk dulu? Anu, aku akan menggantikan kopimu itu. Iced Americano, bukan?” Pinta Intan. Aku mengangguk secara instan, seolah otakku telah diprogram oleh seseorang untuk mengangguk secepat kilat.
Kami telah duduk di sebuah meja bernomor 7, tempat dimana Intan biasa duduk sembari jari-jarinya menari diatas keyboard laptopnya. “Aku minta maaf, Ahsan.” Ya, tidak apa-apa, Intan. Aku justru senang kita bertubrukan seperti ini, jadi aku dan kamu bisa sekedar basa-basi.
“Kamu tahu nama saya?” Tanyaku bingung. Tangannya tiba-tiba berhenti membersihkan pakaianku dan mulutnya sudah membentuk huruf O. “Itu, anu. Eum, anu.” Katanya gelagapan. “Aku tidak sengaja melihat kartu namamu di dompetmu pas mengantri untuk membayar kopi.” Kata Intan. “Oh ya?”
“Ah, sebenarnya tidak juga sih. Aku sering memperhatikanmu belakangan ini, dan kau selalu duduk di meja disana, meja nomor sembilan belas.” Kata Intan yang kembali membuatku serasa membeku. “Benarkah?” Senyumku mengembang begitu melihat Intan yang mengangguk malu-malu. “A, aku juga.” Kataku pelan. Bisa kulihat Intan membulatkan matanya. Sedetik kemudian, kami tertawa terbahak-bahak tanpa memedulikan pengunjung lain yang melirik ke arah kami.
“Nama saya Ahsan Putra. Wirausaha.” Aku mengulurkan tanganku dan disambut olehnya. “Intan Maharani Putri. Translator.” Kami berdua tersenyum.
“Jadi, boleh saya kenal kamu lebih lanjut?” Intan mengangguk kecil dan membuatku tersenyum penuh arti.

“Cinta itu seperti kopi. Kalau kamu tidak tahu cara menikmatinya, kamu akan merasakan kepahitannya.”

1 komentar: