Kamis, 28 Maret 2013

Gadis Itu Bernama Ara [2]


2 minggu setelah Ara dan Arya putus, secara objektif Ara sudah melupakan Arya. Ia mulai membuat lelucon, bertingkah aneh, dan dia kembali seperti dulu. Aah, Ara.. Kau sudah kembali..
“Gue kangen Dion..” Ujar Ara lirih. Aku tersentak kaget. “Haah?!”
“Secara teknis kan, gue sama Dion belum putus.” Kata Ara pelan. Aku makin kaget lagi. “Serius lo?” Tanyaku. Ara mengangguk.
            “Jadi, seperti yang lo tau.. Gue dan Dion itu HTS-an, bisa dibilang pacaran bisa dibilang enggak. Kalau gue mau mutusin si Dion, kan lucu gitu. Hubungan gak jelas kok mau diputusin. Yaudah, kebetulan waktu itu si Arya nembak dan gue nerima dia. Lagian sih, si Dion gak pernah hubungin gue lagi.”
“Dan disaat gue sakit jiwa kehilangan si Arya, tiba-tiba mukanya Dion menghantui gue terus. Dion yang ngasih gue semangat pas gak menang lomba, Dion yang selalu merhatiin pola makan gue, Dion yang kayak bodyguard selalu nemenin gue walaupun lewat sms aja.”
“Itu artinya, hati kecil lo masih nyimpen ruang buat Dion.”
            “Yap, dan gue baru sadar setelah gue lost-contact ­sama dia.”

******
Ringtone ponselku yang berbunyi seiring dengan getarannya membuatku kelabakan mencari dimana benda kecil itu berada. Setelah kudapatkan, aku membelalakkan mataku ketika membaca nama “Arya Prasetyo”. Klik- Aku mengangkat telfon Arya.
“Echy?”
“Ng?” Jawabku.
“Jutek amat sih.”
“Iyaaa, ada apa Arya Prasetyo anak kelas XII IPA 3?” Tanyaku kesal.

“Hehe. Gue ganggu, gak?”
“Nggak kok. Habis makan apa lo tiba-tiba nelfon gue?”
“Tadi pagi gue makan nasi kuning, trus siangnya gue singgah di McD beli chicken warp, trus barusan gue makan batagor haha.” Jawab Arya yang berhasil membuatku terkekeh.
“Haha pamer nih yee. Seriusan nih, ngapain nelfon gue?”
“Gue pengen konsultasi” Kata Arya. Aku terdiam beberapa saat. Konsultasi?
“Yah, saudara Arya. Apa keluhan anda?” Tanyaku; seakan seperti seorang dokter yang menanyakan kondisi pasiennya.
“Perasaan gue campur aduk semenjak lo teriak-teriak gitu depan gue. Gue kepikiran Ara terus”
“Dan lo merasa bersalah?” Aku menebak, dan langsung diiyakan oleh Arya. “Iya”
“Gue jatuh di 2 hati. Gue udah punya Ara, tapi disisi lain gue pengen balikan sama Kiki. Gue dilema.”
“Saran gue cuman 1. Kalo emang lo sayang sama Ara, lo harus buktiin ke dia. Sebelum dia kembali ke Dion.” Kataku. “Udahan dulu ya, udah malem nih ntar bokap gue marah.”
“Oh gitu ya? Oke deh, thanks ya. Oh iya, please jangan kasih tau Ara kalau gue pernah cerita soal ini ke lo. Please, please bangeeeeeet” Aku mengiyakan permintaan Arya lalu mematikan telfon.
            Keesokan harinya, sepulang sekolah Ara memintaku untuk menunggunya sebentar karena ada sesuatu yang harus dikerjakannya. “Mau ngapain sih?”
“Arya minta ketemuan pulang sekolah.” Aku terbelalak kaget. Apakah Arya akan mengajak Ara kembali di sisinya? Oh tidak.
Benar saja, Arya telah menunggu di pelataran parkiran sekolah kami yang sudah sedikit sepi. Aku menunggu Ara tak jauh dari tempat mereka bertemu, dan tentu saja posisi yang strategis agar tetap bisa mendengarkan percakapan mereka.
“Jadi, setelah gue.. Eh, aku pikirin baik-baik.. Aku ternyata memang benar-benar sayang sama kamu.” Arya membuka pembicaraan. Bisa kulihat Ara tidak menatap, tepatnya tidak berani menatap mata Arya.
“Aku mau kamu balikan sama aku. Aku janji gak buat kamu sedih lagi.” Kata Arya. Ia meraih kedua tangan Ara. Ara hanya membiarkan tangannya digenggam oleh Arya.
“Jangan Ra, jangan!!!” Teriakku dalam hati. “Lo udah dibikin kayak orang gila sama dia!! Lo gak mau dibikin kayak orang gila 2x kan sama dia?! Jangan Ra!!” Teriakku dalam hati. Aku gemas sendiri melihat mereka berdua. Ara hanya terdiam.
Samar-samar kulihat tetesan airmata mengalir di pipi Ara. Dan kudapati mata Ara tertuju padaku; seolah meminta jawaban dariku. Awalnya aku hanya mengangkat bahuku, menyerahkan segala keputusan pada Ara. Tetapi begitu melihat mimik wajahnya yang terlihat sangat frustasi, aku menggelengkan kepalaku. Kulihat Ara menghela nafasnya.
“Nggak lagi, Ya’. Lo gak bisa datang dan pergi segampang lo balikin telapak tangan.” Ara kembali menghela nafas. “Cewek itu kayak telur, kalau dia terguncang dia bakalan retak dan perlahan akan pecah. Dan lo tau? Lo udah mecahin sebuah telur, lo mecahin gue. Hati gue.” Kata Ara setengah terisak. Ia berusaha mengatur nafasnya.
“Aku bisa menyatukan semua itu la-” Belum selesai Arya menyelesaikan kalimatnya, Ara kembali berbicara. “Iya, lo bisa. Tapi gak akan pernah bisa utuh kembali.”
“Ara, please…”
“SETELAH LO BIKIN GUE NANGIS KAYAK ORANG IDIOT?! SETELAH LO BIKIN GUE GALAU AKUT 7 HARI 7 MALAM?! DAN SEKARANG LO MINTA BALIKAN?! HELLOOOO, ARYA~! LIFE ISN’T A MOVIE!” Teriak Ara.  Beberapa orang yang lewat pun mulai memandangi mereka berdua. Tanpa pikir panjang, aku langsung menuju ke arah mereka berdua.
“Lelaki sejati gak akan ngemis-ngemis cinta.” Aku menatap sinis mata Arya, lalu menarik lengan Ara dan pergi dari tempat tersebut.

****

“Pada dasarnya kalian semua memang salah, tapi jangan saling menyalahkan. Lo, Arya, juga Dion. Lo yang haus perhatian, Arya yang tergoda, dan Dion yang cuek.” Kataku. “Semua ada hikmahnya. Jadikan ini sebagai pelajaran menuju tahap kedewasaan, beb.” Kataku lagi. Ara mengangguk, sebuah senyum tipis tersungging di bibir mungilnya. “Dion.. Sms gue..”
“Ara? You know what? IMYSM.” Ara memperlihatkan handphonenya kepadaku. “Cieeee, ada yang mau traktir gue lagi uhuuuukk” Kataku bercanda.

**
“Ara… Gue sayang dia..” Kata Arya pelan. Sangat gampang ditebak, ia sedang frustasi.
“Tapi Ara udah jadi punya Dion. Lagi.”
“Ara.. Cuman dia..”
“Ara berhasil ya bikin lo nyesel karena udah ninggalin dia.” Kataku
“Banget.”

            “Dia telah membuatmu menangis just like an idiot karena pada sebelumnya kau membuatnya menangis just like an idiot.” Kataku.
“Arya…”
“Hmm?” Gumam Arya.
“Gadis itu bernama Ara.”
            Selesai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar