Aku hanya duduk sembari menikmati pemandangan
kota Makassar yang diguyur hujan malam ini. Sesekali aku tersenyum melihat
beberapa anak jalanan yang bermain dibawah hujan dengan riang gembira, dan
terlihat sama sekali tidak memperdulikan bahwa sekarang jam telah menunjukkan
pukul 8.22 malam. Menunggu mobil ini membawaku ke sebuah rumah sederhana milik
adik dari ibuku.
Sebenarnya aku sedikit terpaksa berada di kota yang terkenal dengan pantai
losarinya ini. Hanya untuk memenuhi undangan pernikahan sepupuku. Orangtua ku
tidak bisa datang lantaran pekerjaan mereka. Jadilah aku yang sedang
‘menganggur’ setelah wisuda S1 di rumah yang menggantikan mereka.
Berada di kota yang terkenal dengan Pantai Losarinya ini membuatku
menghela nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan berat. Kota ini
menyimpan beribu kenangan yang terkadang membuatku tertawa kecil ketika
mengingatnya. Kenangan yang terkadang membuatku menitikkan air mata saat
mengingatnya. Yah, kenangan masa lalu yang sedikit pahit.
Sesampainya di
rumah sepupuku, aku langsung merebahkan diri diatas kasur. Perjalanan panjang
dari Jogjakarta membuat tulang-tulangku terasa copot semua. Lagipula sudah
malam, tentu rasa kantuk lebih cepat mengusikku. Aku pun memutuskan untuk
tidur, setelah memberi kabar kepada kedua orangtuaku bahwa aku telah tiba di
rumah Tante Tia.
Udara pagi ini begitu dingin sampai terasa menusuk di
tulang-tulangku. Aku bangkit, dan membuka jendela. Kuhirup udara kota Makassar
yang sejuk ini dalam-dalam sembari menikmati taman sederhana milik Tante Tia.
Rintik hujan pun mulai menari-nari dan membahasi bumi. “Pantas saja udaranya
dingin begini.” Gumamku.
“Naya, kamu mau ikut sama om Syamsul gak?” Tanya tante Tia ketika
aku membantunya membuat teh di dapur. “Kemana tante?” Aku balik bertanya.
“Ambil pesanan kue, sekalian lah kamu jalan-jalan. Udah lama kan kamu gak ke
Makassar.” Jawab tante Tia. Ada benarnya
sih, sudah 6 tahun aku tidak menginjakkan kaki di kota ini. “Tapi kan sekarang
lagi hujan, tante.” Kataku sambil menunjuk kearah luar yang sedang hujan. “Gak
apa-apa, kan naik mobil sama om Syamsul. Dia lagi manasin mobil mungkin.” Kata
tante Tia. Sepertinya tidak ada alasan lagi untuk menolak tawaran tante Tia.
“Yasudah, aku mau ikut.”
Setelah memakai
jilbab dan mengenakan pakaian yang tertutup, aku melangkahkan kakiku menuju
garasi. Benar saja, lelaki berusia sekitar 41 tahun itu sedang menyalakan
mobilnya. “Mau kemana?” Tanya om Syamsul begitu melihatku. “Anu, aku mau ikut
ambil pesanan kue. Tante Tia nyuruh aku buat ikut sama om.” Jawabku. “Ngomong-ngomong, ngambil pesanan
kuenya dimana?” Aku balik bertanya pada suami dari adik ibuku itu.
“Gak terlalu jauh kok. Ayo kamu masuk mobil duluan, om mau masuk
dulu sebentar.”
****
“Kamu beneran mau pindah?” tanya lelaki itu padaku.
“Iya.. Papa aku dipindahtugasin ke Jogja, dan kita sekeluarga mau
pindah kesana.” Jawabku. Aku hanya bisa memandangi lantai putih, tempatku dan
lelaki bernama Luthfi itu berpijak.
“Kamu gabisa bujuk papa kamu?”
“Kamu tau sendiri kan kalau papa aku orangnya gimana..” Jawabku.
Aku tak berani menatapnya.
“Trus, kamu pindahnya kapan?” Tanya lelaki itu lagi. “lusa.”
Jawabku singkat. “Lusa? Bentar, bukannya hari itu..” Luthfi terdiam sesaat.
“Perayaan 1st anniversary kita..”