Kubuka mataku
perlahan. Seberkas cahaya matahari menyoroti wajahku melewati celah celah dari
jendela. Sepertinya sudah pukul sembilan pagi. Di sebelahku, perempuan bertubuh
mungil itu menggigil kedinginan tanpa selimut. Selimut tipis semalaman menyelimutiku
langsung aku gunakan untuk menutupi tubuh mungilnya. Kukecup dahinya lembut dan
melangkah ke arah jendela lalu membukanya, tapi menutupnya lagi ketika melihat
Diana- istriku itu meringkuk dalam selimutnya.
Aku pergi ke dapur, bermaksud untuk membuat
sarapan karena Diana tampak sangat capai. Aku mengambil dua cangkir, teh dan
gula lalu menyiapkan air panas. Aku ingin membuatkannya teh panas, agar Diana
tidak menggigil lagi. Tanpa sengaja, aku mendorong jatuh sebuah cangkir dan
membuatnya pecah. Kurasa Diana akan terbangun mendengar suara keramik yang
pecah, dan ternyata perempuan bertubuh mungil itu telah berdiri di ambang pintu
dapur dan menatap cangkir yang sudah berubah menjadi pecahan beling itu.
Matanya sangat sembab.
“Kamu menangis, Sayang?” Tanyaku
padanya. Ia tidak menjawabku.
Selanjutnya, Diana berjalan
kearahku dan mengambil pecahan demi pecahan cangkir yang barusaja kupecahkan. “Pagi,
Hendra.” Ujar Diana pelan. Ia memegang erat pecahan cangkir berwarna biru itu.
“Pagi, Sayang,” balasku.
Something wrong. Aku
melihat Diana tertunduk dan terisak sembari memandangi pecahan cangkir itu. Ia
lalu mengangkat wajahnya, lalu aku melihat bulir air mata mengalir dari ujung
matanya yang indah.
“Kenapa menangis?!” Tanyaku
dengan suara yang agak keras, karena Diana telah berlalu meninggalkanku.
Aku
menemukannya di kamar mandi, sedang membasuh muka di depan wastafel. Ia sempat
menoleh ke arahku sesaat setelah aku membuka pintu kamar mandi yang tidak
terkunci sebelum Ia kembali menatap dirinya sendiri di cermin. Wajahnya basah
karena air keran, atau mungkin saja karena air mata. Matanya memerah dan sangat
sembab.
“I missed you, don’t you
know? Dasar Hendra bodoh.” Ujar Diana lirih.
“Hei, aku ada disini.” Kataku.
“Kenapa kamu tega ninggalin aku
secepat ini?”
Apa yang barusaja Ia katakan?
Aku meninggalkannya? Jelas-jelas aku ada di sini, seatap dengannya.
“Sayang..” Kataku pelan. “Are
you okay?”
No answer. Diana tetap
menatap dirinya sendiri di depan cermin dan sesekali terisak. Hei, tunggu! Aku
tidak ada di dalam cermin itu!
Aku berlari ke seluruh
ruangan dan tidak menemukan barang-barang milikku lagi. Mungkin ada beberapa,
tapi tidak sebanyak sebelumnya. Lalu aku memandang keluar jendela dan menemukan
sebuah tenda yang didirikan di depan rumah kami lengkap dengan kursi-kursi
plastik di bawahnya, dan juga beberapa papan ucapan berbela sungkawa. Hendra
Setiawan, namaku tertera pada papan-papan ucapan itu. Oh, aku mengerti.
“Hendra…” Sekarang Diana tengah
memandangi pigura berisi foto kami berdua saat menikah. Dan, Ia sedang
menangis. Menangisiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar