Minggu, 28 Juli 2013

Her Tears


Kubuka mataku perlahan. Seberkas cahaya matahari menyoroti wajahku melewati celah celah dari jendela. Sepertinya sudah pukul sembilan pagi. Di sebelahku, perempuan bertubuh mungil itu menggigil kedinginan tanpa selimut. Selimut tipis semalaman menyelimutiku langsung aku gunakan untuk menutupi tubuh mungilnya. Kukecup dahinya lembut dan melangkah ke arah jendela lalu membukanya, tapi menutupnya lagi ketika melihat Diana- istriku itu meringkuk dalam selimutnya.
Aku  pergi ke dapur, bermaksud untuk membuat sarapan karena Diana tampak sangat capai. Aku mengambil dua cangkir, teh dan gula lalu menyiapkan air panas. Aku ingin membuatkannya teh panas, agar Diana tidak menggigil lagi. Tanpa sengaja, aku mendorong jatuh sebuah cangkir dan membuatnya pecah. Kurasa Diana akan terbangun mendengar suara keramik yang pecah, dan ternyata perempuan bertubuh mungil itu telah berdiri di ambang pintu dapur dan menatap cangkir yang sudah berubah menjadi pecahan beling itu. Matanya sangat sembab.
“Kamu menangis, Sayang?” Tanyaku padanya. Ia tidak menjawabku.
Selanjutnya, Diana berjalan kearahku dan mengambil pecahan demi pecahan cangkir yang barusaja kupecahkan. “Pagi, Hendra.” Ujar Diana pelan. Ia memegang erat pecahan cangkir berwarna biru itu.
“Pagi, Sayang,” balasku.
Something wrong. Aku melihat Diana tertunduk dan terisak sembari memandangi pecahan cangkir itu. Ia lalu mengangkat wajahnya, lalu aku melihat bulir air mata mengalir dari ujung matanya yang indah.


“Kenapa menangis?!” Tanyaku dengan suara yang agak keras, karena Diana telah berlalu meninggalkanku.
Aku menemukannya di kamar mandi, sedang membasuh muka di depan wastafel. Ia sempat menoleh ke arahku sesaat setelah aku membuka pintu kamar mandi yang tidak terkunci sebelum Ia kembali menatap dirinya sendiri di cermin. Wajahnya basah karena air keran, atau mungkin saja karena air mata. Matanya memerah dan sangat sembab.
I missed you, don’t you know? Dasar Hendra bodoh.” Ujar Diana lirih.
“Hei, aku ada disini.” Kataku.
“Kenapa kamu tega ninggalin aku secepat ini?”
Apa yang barusaja Ia katakan? Aku meninggalkannya? Jelas-jelas aku ada di sini, seatap dengannya.
“Sayang..” Kataku pelan. “Are you okay?”
No answer. Diana tetap menatap dirinya sendiri di depan cermin dan sesekali terisak. Hei, tunggu! Aku tidak ada di dalam cermin itu!
Aku berlari ke seluruh ruangan dan tidak menemukan barang-barang milikku lagi. Mungkin ada beberapa, tapi tidak sebanyak sebelumnya. Lalu aku memandang keluar jendela dan menemukan sebuah tenda yang didirikan di depan rumah kami lengkap dengan kursi-kursi plastik di bawahnya, dan juga beberapa papan ucapan berbela sungkawa. Hendra Setiawan, namaku tertera pada papan-papan ucapan itu. Oh, aku mengerti.
“Hendra…” Sekarang Diana tengah memandangi pigura berisi foto kami berdua saat menikah. Dan, Ia sedang menangis. Menangisiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar