A cup of Iced
Americano dan alunan musik jazz menemaniku ditengah gerimis ini di
sebuah coffee shop, tempat kami biasa bertemu. Ah, mungkin lebih
tepatnya bukan bertemu. Tempat ini hanya sebagai ‘perantara’ antara aku dan degupan
jantungku yang lebih cepat dari biasanya ‘bertemu’ dengan seorang gadis
berkacamata yang sangat cantik. Setiap pukul 3 sore, sepulang kerja aku
selalu standby disini, di meja nomor 19 yang berposisi tepat di samping
jendela, memperhatikan gadis berambut panjang itu menyeberang jalan raya lalu
masuk ke kedai kopi ini dan memesan Vanila Latte, lalu sibuk dengan
laptopnya. Entah apa yang Ia kerjakan itu, tapi mimik wajahnya selalu serius
mengamati laptopnya itu. Dan aku tidak pernah bosan dengan mimik wajah yang
tampak lucu di mataku itu.
Namanya Intan. Namanya secantik orangnya. Aku mulai menjadi secret
admirernya sejak 3 minggu yang lalu, disaat aku tidak sengaja menumpahkan
kopi karena tersandung dan Ia memberikanku tisu miliknya dengan senyuman
terindah yang pernah kulihat sejauh ini. Kata terimakasih pun menjadi sangat
sulit kuucapkan karena terpana kecantikannya. Sungguh, mungkin aku bisa di cap
sebagai makhluk idiot karena telah jatuh cinta pada pandangan pertama dan
menjadi secret admirernya ditambah lagi harus merelakan hampir 2 jam
waktuku hanya untuk memandanginya dari
kejauhan.
Sudah hampir 20
menit aku menunggunya, namun Ia tak kunjung datang. Padahal, hari ini aku sudah
mengumpulkan segenap keberanian untuk menyapanya.
“10 menit lagi, Ahsan. Tunggu sebentar lagi.” Batinku.
Aku bahkan
menungguinya lagi selama 20 menit. Jadi total aku menunggui Intan adalah 1 jam.
“Bodoh.” Hati kecilku berkata demikian.
Kuputuskan untuk menyudahi penantian selama 1 jamku ini, dan
bersiap meninggalkan coffee shop ini. Dadaku terasa sesak mengingat
betapa bodohnya aku sebagai laki-laki hanya bisa mengaguminya dari jauh, tidak
berani menyapanya. Aku tidak hanya kagum padanya, aku mencintainya. Dalam diam.
Oh, alangkah
terkejutnya aku begitu keluar dari coffee shop ini, aku bertubrukan
dengan seseorang dan membuatku menumpahkan Iced Americano yang memang
kupesan untuk kuminum di perjalanan.
“Ah, maaf!” Suaranya lembut, sepertinya aku bertubrukan dengan
seorang perempuan. Dan, benar dia perempuan. Oh, hei! Dia Intan! I really
really can’t explain what I feel now. Aku merasa membeku seketika.
Andai kau melihat ekspresi wajah Intan yang saat ini panik, kau
pasti akan mencubitnya dengan gemas. “Itu, anu. Aku, aku tidak membawa tisu.
Bagaimana ini?” Kata Intan sambil menunjuk ke arah dadaku, lalu kemudian
merogoh saku celananya.
Dadaku?
Aku lalu mengalihkan pandanganku ke dadaku, dimana Intan
menunjuknya dengan ekspresi paniknya. Iced Americano milikku tertumpah
diatasnya. Pantas, aku merasa seolah membeku. “Ini. Aku benar-benar minta maaf.”
Kata Intan sambil membersihkan pakaianku menggunakan sapu tangan yang dibordir
dengan nama lengkapnya. Intan Maharani Putri. “Bagaimana kalau kita masuk dulu?
Anu, aku akan menggantikan kopimu itu. Iced Americano, bukan?” Pinta
Intan. Aku mengangguk secara instan, seolah otakku telah diprogram oleh
seseorang untuk mengangguk secepat kilat.
Kami telah duduk di sebuah meja bernomor 7, tempat dimana Intan
biasa duduk sembari jari-jarinya menari diatas keyboard laptopnya. “Aku
minta maaf, Ahsan.” Ya, tidak apa-apa, Intan. Aku justru senang kita
bertubrukan seperti ini, jadi aku dan kamu bisa sekedar basa-basi.
“Kamu tahu nama saya?” Tanyaku
bingung. Tangannya tiba-tiba berhenti membersihkan pakaianku dan mulutnya sudah
membentuk huruf O. “Itu, anu. Eum, anu.” Katanya gelagapan. “Aku tidak sengaja
melihat kartu namamu di dompetmu pas mengantri untuk membayar kopi.” Kata
Intan. “Oh ya?”
“Ah, sebenarnya tidak juga sih. Aku sering memperhatikanmu
belakangan ini, dan kau selalu duduk di meja disana, meja nomor sembilan belas.”
Kata Intan yang kembali membuatku serasa membeku. “Benarkah?” Senyumku
mengembang begitu melihat Intan yang mengangguk malu-malu. “A, aku juga.”
Kataku pelan. Bisa kulihat Intan membulatkan matanya. Sedetik kemudian, kami
tertawa terbahak-bahak tanpa memedulikan pengunjung lain yang melirik ke arah
kami.
“Nama saya Ahsan Putra. Wirausaha.” Aku mengulurkan tanganku dan
disambut olehnya. “Intan Maharani Putri. Translator.” Kami berdua tersenyum.
“Jadi, boleh saya kenal kamu lebih lanjut?” Intan mengangguk kecil
dan membuatku tersenyum penuh arti.
“Cinta itu seperti kopi. Kalau kamu tidak tahu cara menikmatinya,
kamu akan merasakan kepahitannya.”
Keren, feelnya dapet banget ><
BalasHapus